Selasa, 14 Oktober 2014
Jumat, 19 September 2014
Penerapan Teknologi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, BBP2HP di Makasar, 16-18 April 2014
Pengujian Penerapan Hasil Perikanan (BBP2HP) Jakarta menggelar kegiatan Penerapan Teknologi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan bagi pelaku usaha di bidang perikanan dan petugas pendamping/penyuluh perikanan guna mendorong keterampilan dan pengetahuan di bidang diversifikasi perikanan serta meningkatkan kesejahteraan para pelaku usaha di bidang pengolahan perikanan. Kegiatan ini merupakan implementasi dari Fokus Group Discussion Penerapan Teknologi Pengolahan Bandeng Mendukung Industrialisasi yang telah dilaksanakan sebelumnya di Provinsi Sulawesi Selatan.
"Melalui kegiatan ini diharapkan para pelaku usaha dan petugas penyuluh dapat lebih terampil dalam mengolah produk perikanan serta meningkatkan kesejahteraan para pelaku usaha di bidang pengolahan perikanan," kata Kepala Bidang Uji Terap Teknik Pengolahan dan Pemasaran yang mewakili Kepala BBP2HP, Bapak Harun, AS., S.St.Pi., M.P.
Menurut Harun, AS., S.St.Pi., M.P dalam pembangunan perikanan, bidang pengolahan perikanan memiiki sisi penting, karena merupakan hilir dari seluruh proses tata niaga produk perikanan. Oleh karena itulah, diperlukan pembinaan dan bimbingan terhadap stakeholder yang terkait dengan pengolahan perikanan khusunya pelaku usaha dan petugas penyuluh.
Umumnya produk olahan yang dihasilkan masih belum memenuhi persyaratan kualitas dan keamanan pangan serta belum sesuai dengan tuntutan pasar yang terus berkembang.
"Diharapkan melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pengolahan hasil bagi pelaku usaha sehingga meningkatkan perekonomian mereka," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan Ir. Iskandar dalam sambutannya.
Peserta kegiatan ini berjumlah 30 orang yang terdiri dari terdiri dari pelaku usaha dan petugas pendamping kelompok yang berasal dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makasar, Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Bone. Narasumber kegiatan ini berasal dari BBP2HP Jakarta serta praktisi Bapak Prof. Dr. Ir. Abu Bakar Tawali.
Materi yang disampaikan dalam kegiatan ini, yaitu Teori strategi dan Manajemen Pemasaran Produk Hasil Perikanan, Teori dan praktek teknologi pengolahan stick tulang bandeng, Teori dan praktek teknologi pengolahan roti manis bandeng, Teori dan praktek teknologi pengolahan abon tulang bandeng, Teori dan praktek teknologi pengolahan sosis bandeng, Teori dan praktek teknologi pengolahan keripik kulit bandeng serta Teori dan praktek pengemasan.
Sumber: Bidang Uji Terap Teknik Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
Balai Besar Pengujian Penerapan Hasil Perikanan
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Jl. Raya Setu No.70 Cipayung – Jakarta Timur 13880
Sumber: www.teraskreasi.com
Kamis, 18 September 2014
Menjaga Performa Nila Unggulan
Pembudidaya nila diimbau untuk tidak sembarangan membenihkan nila, supaya kualitas benih unggul tetap terjaga.
Budidaya
ikan nila berkembang pesat di berbagai daerah. Salah satu indikasinya harga
jual ikan introduksi asal Afrika tersebut yang terus menanjak. Data pasar ikan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan, sampai akhir Juli 2014
harga nila di berbagai daerah mulai dari Rp 12 ribu sampai Rp 25 ribu.
Nila sudah jadi menu umum yang disajikan mulai dari warung nasi hingga
restoran.
Meningkatnya budidaya nila,
mendorong kebutuhan akan nila unggul. Diceritakan Direktur Perbenihan,
Direktorat Jenderal Perikanan BudidayaKKP,Djumbuh Rukmono, pada 2002 upaya
perbaikan genetik nila yang berasal dari nila gift mulai dilakukan berbagai
pihak. Hingga saat ini sudah ada 13 strain nila yang resmi dirilis
KKP.
Ketigabelas nila tersebut meliputi
nila JICA, nila Gesit, nila nirwana, nila Jatimbulan, nila BEST, nila larasati,
nila nirwana II, nila sultana, nila srikandi, nila anjani, nila merah nilasa,
nila jantan pandu dan kunti, serta nila salina. Nila-nila tersebut dikembangkan
oleh balai-balai di bawah KKPsertaUnitPelaksana Teknis(UPT)di bawah dinas
perikanan provinsi dan kabupaten/kota. ”Setiap strain nila tersebut
memiliki keunggulan tersendiri sesuai dengan peruntukannya, seperti tahan
penyakit, tumbuh cepat, dan bisa hidup di air payau,” ungkap Djumbuh kepada
TROBOS Aqua.
Pengembangan nilaunggul di berbagai
daerah, kata Djumbuh, dikoordinasikanmelalui broodstockcenter(pusat
induk) nasional yang dikoordinir oleh Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar
(BBPBAT) Sukabumi. “Setiap tahun dilakukan evaluasi,” kata Djumbuh.
Selain dibudidayakan untuk memenuhi
konsumsi dalam negeri, lanjut Djumbuh, hasil budidaya semua strain nila
tersebut juga diekspor ke luar negeri. Salah satu strain nila yang
banyak diekspor ke luar adalah nila nirwana II yang dihasilkan oleh Balai
Pengembangan Benih Ikan Air Tawar (BPBIAT) Wanayasa, Purwakarta, Jawa
Barat.
Hal yang perlu diingat, kata
Djumbuh, setiap indukkan strain baru yang dibuat harus didiseminasikan
secara baik oleh unit pelaksana teknis yang ada di daerah. ”Tujuannya agar
pembudidaya ikan baik pembenih maupun pembudidaya pembesaran dapat memanfaatkan
secara optimal nila unggul yang diproduksi dengan kualitas yang selalu
terjaga,” kata Djumbuh.
Sertifikasi Benih
Faktanya sifat mudah kawin pada nila
yang dapat dijadikan kelebihan dalam kegiatan pemuliaan, ternyata
dapatjugamenjadi problem besar jika tidak disikapi dengan baik. Menurut pakar
budidaya perikanan dariDepartemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Irzal Effendi, nila yang dikawinkan terlalu
muda mengakibatkan lambatnya pertumbuhan dan ukuran tubuh relatif kecil.
Untuk mengatasinya, kata Irzal,
dapat dilakukan monosex culture atau membudidayakan nila satu jenis
kelamin, baik jantan maupun betina saja sehingga tidak terjadi perkawinan dalam
kolam. Monosex culture dapat dilakukan dengan memilih nila jantan dan
betina secara mekanis atau dengan pemberian hormon, misalnya aromatase
inhibitor, untuk mengarahkan ikan ke jenis kelamin jantan sejak dini.
Tantang lain yang dihadapi, kata
Irzal, saat ini penyilangan nila di masyarakat sangat bebas dan tidak
terkontrol. “Banyak pembudidaya yang coba-coba mengawinkan nila final stock
(FS) atau benih sebar yang ukurannya besar dengan tujuan untuk mendapatkan
keturunan yang ukurannya sama,” ujarnya. Penyilangan yang bersifatsporadis
tersebut, akhirnya menghasilkan keturunan yang kualitasnya rendah.
Melihat adanya tantang menjaga
kulitas induk nila unggul tersebut, Irzal berharap, pemerintah bertindak cepat
untuk mencari solusinya. Ia menyarankan, cara yang dapat ditempuh adalah dengan
dengan menunjuk balai-balai khusus untuk memproduksi induk sebar dan benih
sebar. “Sementara, masyarakat atau swasta yang ingin memproduksi harus memiliki
sertifikasi yang menunjukkan induk telah mengalami prosedur yang benar,
sehingga layak dijadikan sebagai induk dan praktiknya harus diawasi oleh
pemerintah,” tegas Irzal.
Sumber: http://www.trobos.com/2014/detail_berita.php?sid=4941&sir=12
Edisi-27/15 Agustus 2014 - 14 Sept 2014
Lele Sangkuriang II Cepat Dipanen dengan Ukuran Lebih Besar
Bisa
dibilang, budidaya lele (pembesaran, red), relative mudah dilakukan masyarakat.
Pembudidaya bisa memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk memelihara lele.
Kolamnya pun bisa dari terpal, ataupun kolam semen. Hal itu bisa dilhat dari
puluhan kolam ikan lele terpal menghampar luas di lahan budidaya milik Shaleh
di Bogor. Sudah 20 tahun terakhir ini dirinya menggantungkan harapan dari
budidaya lele.
Berkat
lele, Shaleh sudah mampu menghantarkan anaknya meraih gelar Doktor dan Sarjana.
“Dibandingkan dengan ikan tawar lain yang sering tak menentu, ikan lele ini
stabil bahkan semakin meningkat 5 tahun terakhir ini,” kata Shaleh.
Menurut
Shaleh, pada awalnya ia hanya menjual
lele di tingkat pembesaran saja. Tapi,
dikarenakan indukan dan benih agak sulit dicari yang berkualitas. Ahirnya ia
menekuni usaha pembenihan lele.
Kesulitan
memperoleh indukan dan benih yang berkualitas juga dirasakan oleh Amruddin,
pembudidaya lele dari Sleman. Dirinya mengaku membeli benih dan indukan dari
unit pembenihan rakyat (UPR) setempat. Hanya saja, benih yang dibeli dari UPR
ini kualitasnya sekitar 3 tahun terakhir semakin menurun.
“Beli
di UPR saja sekarang sudah gak bagus
kualitasnya. Kalau beli ke pembenih, saya ragu sebab terkadang dikawin silang
dengan satu keturunan (incest)
sehingga pengaruh kepada kualitas dan performanya,”
terang Amruddin.
Semakin
menurunnya benih lele di UPR juga diakui Kepala Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Sarifin. Menurutnya, penurunan kualitas dari lele memang
dimungkinkan.
Seperti
yang terjadi saat lele dumbo booming
di pasaran. Pembenih nakal seringkali melakukan inbreeding antara lele dumbo satu keturunan. Sehingga terjadi
penurunan derajat penetasan, pertumbuhan lambat, daya tahan penyakit menurun.
Begitupula yang kini terjadi pada Lele Sangkuriang. Penyebaran informasi yang
cepat menjadikan benih Lele Sangkuriang banyak dicari dan kebutuhan akan benih
juga semakin meningkat.
Nah,
guna mengantisipasi penurunan kualitas dan kejayaan lele di masyarakat, BBAT
Sukabumi sebenarnya telah merilis Lele Sangkuriang II sejak tahun 2013 silam sebagai Benih Hibrida berdasarkan Keputusan Menteri
Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 28/KEPMEN-KP/2013. Sejak Juni
2014 lalu, pembudidaya sudah bisa memperoleh Lele Sangkuriang II ini.
“Lele ini merupakan hasil hibrida antara indukan betina strain Sangkuriang I dan jantan strain Afrika. Indukan betinanya sendiri
merupakan turunan kedua dari Sangkuriang I sedangkan strain lele Afrika diperoleh dari turunan 1 yang dikembangkan di Thailand,”
tutur Sarifin.
Lele
Sangkuriang II kini telah didistribusikan dalam bentuk benih ke beberapa kota
besar dan menjadi sentra budidaya lele seperti Jawa Barat (Kab. Bogor, Kota
Bogor,Kota Depok,Kab. Karawang, Kab.
Tasikmalaya, Kab. Indramayu, Kab. Bekasi,
Kab. Bandung, Kota Bandung, Kota Sukabumi, Kab. Sukabumi, Kab. Cirebon, Kab.
Ciamis), DKI Jakarta (Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat,
Jakarta Utara), Banten (Kota Tangerang Selatan), Jawa Tengah (Kab. Brebes, Kab.
Banyumas) hingga JawaTimur (Kab. Tulungagung).
Ukuranya Lebih Besar
Indukan strain
Afrika diperoleh karena ukurannya yang besar dan bisa mencapai 7 kilogram. Selain itu, jenis lele generasi awal ini
dipilih, karena diharapkan bisa memperbaiki genetis ikan lele dan menghasilkan
keturunan berukuran besar.
Diharapkan strain
baru ini menjadi kenyataan saat kelompok peneliti dari BBPBAT Sukabumi
melakukan uji coba multilokasi ke beberapa kelompok pembudidaya ikan yang
tersebar di Bogor (Jabar), Boyolali (Jateng), Gunung Kidul (DI Yogyakarta), dan
Kepanjen (Jatim).
“Pembudidaya ikan lele sendiri menunjukan respon positif
akan kehadiran Lele Sangkuriang II ini sebab dalam
usaha budidaya pembesaran sangat baik, sangkuriang II memiliki pertumbuhan yang
relatif cepat bila dibandingkan ikan lele strain
lain yang telah ada sebelumnya,” tutur Sarifin.
Ditambahkan
Sarifin, masa panen untuk ukuran konsumsi Lele Sangkuriang I relatif lebih lama
yakni mencapai 3 bulan, sedangkan Sangkuriang II hanya 2,5 bulan. Sehingga
pembudidaya bisa mendapatkan keuntungan yang lebih cepat.
Meskipun
berukuran besar dan cepat tumbuh ternyata konsumsi pakan dari jenis ini lebih
hemat dibandingkan dengan jenis sebelumnya yakni hanya 0,85 saja atau dengan
kata lain hanya dibutuhkan 0,85 kilogram pakan saja untuk menghasilkan 1
kilogram daging ikan.
Tingkat
survival rate atau harapan hidup dari
ikan lele jenis baru ini pun lebih besar daripada Sangkuriang I yakni sekitar
90,8%. Bahkan fekunditas (banyaknya
telur) mencapai 97.192 butir telur per kilogram induk. Saat pembesaran, ukuran
lele Sangkuriang II ini lebih seragam dan memiliki ukuran yang identik satu
sama lain. (lihat table 1)
Berbudidaya
ikan lele Sangkuriang II juga lebih hemat dibandingkan dengan strain lain. Penghematan yang bisa
dilakukan oleh pembudidaya sekitar 60%. Apalagi jika ikan dibudidayakan dengan
metode bio enzim, tumbuh kembang ikan menjadi lebih cepat bagus serta lebih
tahap terhadap penyakit.
Keuntungan
berlipat pun bisa dirasakan oleh pembudidaya ikan Sangkuriang II ini. Berdasarkan
analisis usaha yang dibuat oleh BBPBAT Sukabumi, setidaknya selisih Rp 1,350
juta bisa diperoleh pembudidaya (lihat
table 2).
Nah,
kehadiran Lele Sangkuriang II ini bisa menjadi pilihan bagi pembudidaya.
Apalagi, dengan kelebihan yang disandangnya, diyak ini, para pembudidaya Lele Sangkurian II bakal mendapat margin
keuntungan lebih baik disbanding membudidaya lele jenis lainnya.
Sumber:
http://akuaminasinartani.blogspot.com/
Rabu, 17 September 2014
Potensi Budidaya Ikan dari Jenis Perikanan Darat
Perikanan darat memiliki keunggulan dan keunikan dalam pengembangannya. Pertama, potensinya memiliki varitas/jenis yang bersifat endemik. Contohnya, ikan bilih (Mystacoleuseus padangensis) yang di dunia hanya terdapat danau Singkarak, Sumatera Barat, juga ikan jenis lawat (Leptobarbus hoevanii), baung (Mystus planices), belida (Chitala lopis), dan tangadak (Barbodes schwanenfeldi) di Danau Sentarum Kalimantan Barat dan sungai-sungai pulau Sumatera, nike-nike di Danau Tondano, Sulawesi Utara dan ikan gabus asli (Oxyeleotris heterodon) Danau Sentani di Papua.
Kedua, keberadaan ikan endemik menyatu dengan perilaku/pola hidup masyarakat lokal. Mereka menganggap ikan endemik menjadi bagian kebudayaan dan dikonsumsi secara turun-temurun. Maka mereka juga memiliki kearifan lokal dalam menjaga kelestariannya.
Ketiga, secara ekologis dan klimatologi ikan endemik memiliki habitat hidup dan berkembang biak yang khas. Amat tidak mungkin ikan bilih, Danau Singkarak dikembangbiakan di Danau Poso. Inilah sumber kekhasan sumber daya genetiknya.
Keempat, lahan budi daya perikanan darat yang mengandung jenis ikan endemik belum dimanfaatkan secara optimal. Baru beberapa daerah yang memberdayakan dan memberdayakannya dengan pariwisata misalnya Danau Tondano, Danau Singkarak, Danau Poso dan Danau Sentani. Kelima, jenis ikan endemik harganya mahal karena rasanya unik, khas dan langka sehingga menjadi trade mark tersendiri bagi daerah itu. Contohnya, ikan semah (Tor tambra, Tor dourounensis dan Tor tambroides, Labeobarbus douronensis) dari Sungai Kapuas harganya sampai Rp 250.000/kg.
Enam Problem
Otonomi daerah dalam aspek perikanan dan kelautan tidak hanya dimaknai sebatas kewenangan pengelolaan wilayah laut oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Otonomi daerah juga harus dimaknai sebagai upaya mengelola dan mengembangkan perikanan darat utamanya ikan endemik yang terancam punah. Pemaknaan ini akan menciptakan kedaulatan pangan di tingkat lokalitas.
Berbagai problem mengancam keberlanjutan budidaya ikan endemik dan kelestariannya, yaitu pertama, ekspoitasi berlebihan. Contohnya, data tahun 1997 menyebutkan stok ikan Bilih mencapai 542,56 ton dan yang telah dieksploitasi sebesar 416,90 ton (77,84 persen). Ini menggambarkan sumberdaya ikan bilih sudah mengalami tangkap lebih.
Kedua, introduksi ikan lain yang bersifat predator dan kompetitor. Kasus introduksi ikan gabus toraja (Channa striata) di Danau Sentani, mengancam Ikan gabus asli Danau Sentani. Hal serupa juga terjadi di Danau Poso dan Malili di Sulawesi Tengah.
Ketiga, ancaman kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan pembabatan hutan. Akibat kegiatan pertanian yang menggunakan pupuk anorganik, limpasannya masuk ke sungai dan danau, sehingga mencemari dan merusak habitat ikan endemik.
Hal serupa akan terjadi akibat pembabatan hutan di hulu sungai, tepi danau dan daerah tangkapan air. Penurunan populasi ikan endemik di sungai, danau maupun lubuk-lubuk di Kalimantan dan Sumatera bersumber dari aktivitas pertanian dan pembabatan hutan.
Keempat, proses sedimentasi yang disebabkan oleh limpasan lumpur dari aktivitas pertanian di tepi danau menyebabkan danau semakin dangkal. Juga, pembabatan hutan di hulu menyebabkan sungai mengalami pendangkalan. Otomatis proses sedimentasi yang semakin bertambah setiap tahunnya mengancam hilangnya habitat ikan endemik. Di Sungai Mahakam akibat sedimentasi sudah sulit mendapatkan ikan baung dan lais.
Kelima, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Kasus yang terjadi di Danau Sentarum, Kalimantan Barat, yakni adanya penggunaan bubu warin (alat tangkap berukuran mata jaring < 0,5 cm sejak tahun 2000) menyebabkan turunnya populasi ikan di daerah ini. Keenam, penyediaan pakan ikan budidaya mengancam kelestarian ikan endemik. Pengembangan budidaya keramba mengancam ikan endemik Danau Sentarum karena pakannya diambil dari ikan–ikan kecil di danau ini.
Delapan Kebijakan
Melindungi sumber genetik plasmah nutfah dan mengembangkan budidaya perikanan darat berbasis ikan endemik memerlukan kebijakan strategis. Pertama, mengembangkan riset pemuliaan genetik ikan endemik. Hasil riset ini akan melahirkan bank genetik ikan endemik Indonesia, sekaligus melindungi plasma nutfahnya.
Kedua, mengembangkan pusat pembudidayaan ikan air tawar endemik yang mampu menyediakan bibit/benih secara massal baik untuk budi daya sungai maupun danau atau situ. Pusat-pusat ini dibangun daerah-daerah yang memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri.
Ketiga, menerbitkan perangkat undang-undang sumberdaya genetik untuk menangkal pihak asing melakukan bio piracy terhadap komoditas endemik khas Indonesia. Hukum yang tersedia baru Keppres No. 43 Tahun 1978 yang menyatakan bahwa jenis ikan yang dilindungi di pulau Kalimantan dan Sumatera adalah arwana Super Red, Golden Red, Banjar Red, arwana Green (hijau) yang ditemukan di Taman Nasional Danau Sentarum dan Sungai Kapuas.
Keempat, melestarikan lingkungan kawasan perairan umum (daerah aliran sungai, danau, situ) dan tangkapan air yang mampu menjamin ketersediaan air tawar dan mencegah sedimentasi maupun pencemaran air. Prioritaskan bagi kawasan perairan umum yang sudah memiliki sumber daya ikan endemik dan terancam punah.
Kelima, mengembangkan alat tangkap yang ramah lingkungan dari segi jenis, ukuran, maupun variannya. Akan lebih baik menggunakan alat tangkap yang hanya menyeleksi ikan-ikan endemik yang masuk kategori layak konsumsi dan jual.
Keenam, menyeleksi introduksi ikan-ikan non-endemik yang bersifat predator, kompetitor dan pembawa penyakit yang nantinya mengancam kelangsungan hidup ikan endemik.
Ketujuh, menyeragamkan pangan berbasis ikan endemik, contohnya fillet, nugget, bakso ikan dan kerupuk ikan. Kedelapan, memberdayakan kelembagaan lokal dan kearifan masyarakat dalam membudidayakan ikan-ikan endemik.
Gagasan yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan langkah strategis dan politik untuk membangun paradigma baru dan merevitalisasi kebijakan budidaya perikanan yang selama ini cenderung mengabaikan perikanan darat.
Hal serupa berlaku juga bagi perairan umum lainnya yang sudah mengembangkan ikan air tawar berbasis waduk (Jatiluhur, Cirata), danau serta situ, demi pemenuhan pangan protein. Dengan demikian, bangsa ini akan berdaulat atas pangan yang bersumber dari ikan endemik, termasuk dalam penyediaan benih.
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.
Written By : Muhamad Karim di Sinar-Harapan.com
Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan
Peradaban Maritim.